Sabtu, 23 November 2019


Para santri menyebut pondok pesantren adalah penjara suci. mengapa penjara..?? karena banyak sekali aturan pondok yang mengikat para santri untuk tidak melanggarnya. meski demikian santri tetap meyakini bahwa banyak sekali hikmah dan manfaat dari semua peraturan yang ada dipondok. santri selalu menjadi insan yang percaya diri, berani dan kretif dalam semua hal. baru-baru ini pemerintah mengesahkan UU pesantren, banyak dukungan dan apresiasi. namun tidak sedikit juga yang mengkritik dan memjnta agar UU Peanren dikaji ulang. dibalik semua itu santre pangarangan yogyakata (SPY) mejalin silaturahim sekaligus mewawancari dua tokoh yang yang punya peran besar dalam pengesahan UU Pesantren, yaitu bapak Marwan Depasong selaku ketua Panja RUU pesantren dan KH. Fairuzi ketua RMI NU DIY. bagaimana sebenarnya UU pesantren dalam pandangan Gus UZI. Ikuti wawancara tim SPY dengan beliau.
Apa Pengaruh UU pesantren ini terhadap pesantren Gus?
ya untuk pengaruh secara real mungkin kita belum tau ya mas, karena UU ini belum diterapkan. Cuma UU ini untuk memberikan pengukuhan kalau pesantren itu ya seperti itu, harus ada kiayinya, kitab kuning, asrama, masjid/musholla dan ada santrinya. karena akhir-akhir ini banyak bermunculan pesantren-pesantren yang notabeninya tidak sama dengan yang kita harapkan. teman-teman RMI di Jogja sering mas menemukan pesantren ada papan
namanya ada gedungnya tapi tidak ada santri yang bermukim disitu. bahkan kiayinya tugasan gak menetap disitu. oleh karena itu hal ini kan menjadi keluar dari norma-norma pesantren yang ada. karena pesantren itu dibentuk oleh kiayi, dan kurikulum yang diterapkan adalah  kurikulum-kurikulum kiayi tersebut. ada yang fokus Al-Qur’an saja, ada yang tafsir, ada yang kitab kuning, ada yang toriqoh dan lain-lain. sehingga saya berterimakasih sekali dengan kreteria- kreteria yang ada di UU pesantren bisa mengatasi masalah-masalah yang sering kita temukan.
Lebih menjaga identitas pesantren itu sendiri ya gus?
Betul, lembaga pendidikan yang khas dan tidak bisa diusik oleh budaya luar hanya pesantren. pesantren harus berdiri kokoh dengan semangat dan identitas diri sendiri dalam artian asli lembaga pendidikan Nusantara.
Diluar tidak semua kalangan menyetujui UU ini gus, kira-kira edukasi apa yang akan di lakukan oleh RMI kedepannya?

oke, saya rasa untuk lingkup-lingkup pesantren atau untuk lingkup kita warga Nu itu sudah linier semua mengenai apa yang disampaikan di UU. Cuma mengenai pertanyaan njengan kan di luar kita. tidak ada edukasi yang lebih baik selain diskusi dan muhasabah. Cuma gini mas, jasa pesantren itu sangat komplek. kiayi dan ulama punya jasa besar atas republik indonesia. sementara kita semua mengakui bahwa kepesantrenan ini, penghargaan dari pemerintah dinomor duakan. Nah, saat ini pesantren ingin diperhatikan, ingin dikembangkan, dan diakui oleh pemerintah. mbok iyao berterimaksihlah.
Ini lagi gus, mengenai dana pesantren. bagaimana dengan pesantren-pesantren yang punya prinsip tidak ingin dan tidak mau menerima dana dari pemerintah, karena kehati-hatian seorang kiayi?
saya pikir kita tidak bisa memaksa, karena seorang kiayi adalah simbol dari pada pesantren. pesantren yang macam-macam ragamnya itu tidak bisa kita intervensi. Seperti yang saya sebutkan tadi, ada pesantren yang fokus belajar Kalam agar mampu membaca kitab kuning, Biarlah. Ada juga yang Tafsir atau Menghafal Al-qur’an, Biarlah. Begitu pun mengenai hal ini, pesantren yang punya prinsip tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Cuma saya berpikirnya karena saya berada di RMI, manakala dana ini dikelola oleh orang baik akan menjadi baik, dan manakala dikelola oleh orang yang tidak baik akan menjadi tidak baik.
Tantangan Pesantren untuk kedepannya apa gus dengan adanya UU ini?
yang paling sederhana menurut saya adalah mesalah Administrasi. seperti yang dikatakan tadi, harus ada yang namanya santri berarti harus punya data Induk santri. Seperti juga harus ada gedung dan masjid tentunya surat-surat kepemilikan dan perizinan harus lengkap. dan yang pasti karena pesantren akan mendapatkan bantuan dana pemerintah otomatis harus ber NPWP. saya rasa perlu kita berlomba-lomba membenahi pola administrasi agar sesuai dengan standar nasional. Administrasi dipondok jarang diperhatikan tapi sangat penting untuk perkembangan pesantren lo mas. meski bukan untuk keperluan hal ini, saya rasa kalau administrasi pesantren bagus maka mudah kita meliat keunggulan dan grafik peningkatan pesantren setiap tahunnya. begitu juga bisa membantu saat ingin mengevaluasi kinerja pesantren, karena data data yang diperlukan lengkap.
Yang terakhir gus, apa pesan njenengan untuk para santri?
Keberadaan kita sudah diakui oleh negara dengan adanya hari santri misalnya terus UU Pesantren. saya berharap santri- santri lebih enjoy lagi, bahwa menjadi santri adalah kebanggaan bagi dirinya dan dibanggakan oleh negara. kemudian lulusannya sudah diakui, ya saya berharap para santri harus semangat berlomba-lomba untuk menjadi insan yang berguna buat Agama dan Bangsa. kalau dulu pertama masuk pondok mindset yang terbangun adalah waduh saya tidak punya masadepan,tertinggal dan macam-macam. Nah, mindset seperti ini harus dikubur dalam-dalam, saat masuk pondok pandanglah masa depan itu nyata dan terang sakali, memang benar-benar ada dan dimulai dari pondok pesantren. artinya percaya dirilah.
Wawancara kedua dengan ketua Panja RUU pesantren yaitu Bapak Marwan Dapasong. wawancara dilakukan sangant singkat karena beliau buru-buru kembali ke Jakarta untuk tugas yang lain. bagaimana sebenarnya UU pesantren dalam pandangan pak Marwan. Ikuti wawancara tim SPY dengan beliau.
Apa Urgensi UU pesantren sehingga perlu untuk disahkan menjadi UU pak?
pesantren adalah lembaga pendidikan yang ada jauh sebelum republik indonesia berdiri, bahkan sebelum penjajah datang. Pesantren ini dari dulu berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana selain pesantren mempelajari ilmu ilmu keagamaan juga menanamkan rasa cinta tanah air. Sehingga semboyan kebangsaan dari Hadrotus syeh Hasyim as’ary “Hubbul wathon minal iman” seolah-olah seperti hadist, jadi rujukan. sumbangsi pesantren terbesar adalah melahirkan generasi-generasi yang cerdas, visioner, agamis dan nasionalis sehinga mampu merumuskan dasar-dasar negara. Maka karena itu rasanya pesantren perlu untuk dibuatkan payung hukum, karena pasca kemerdekaan pesantren kurang diperhatikan oleh pemerintah dan sedikit tidak teruru. Dengan hadirnya UU Pesantren dan Hari Santri nasional maka peran pesantren dalam merajut cita untuk menjadi indonesia itu tidak bisa dibantahkan. Maka bagi kami nagara berhak membiayai pesantren lewat APBN dan APBD karean kyai sudah membaktikan darmanya pada negara, melahirkan SDM yang unggul dan kompeten. Kalau SDM yang dicetak para kyai dibayar, lanjut Marwan, itu membutuhkan anggaran triliunan, lihat Lirboyo, Sidogiri, Krapyak, Gontor dan pesantren yang lain. berapa triliun itu biayanya untuk mencetak lulusan-lulusan yang kompeten dan menjadi aset bagi negara. Kyai memang tidak pernah menuntut hal itu, tapi negara harus memperhatikan historisnya dan jasa-jasanya. Secara garis besar yang kita perjuangkan; pertama, kita ingin memastikan keberlangsungan pendidikan yang khas di nusantra, jangan sampai tergerus dan tersingkirkan, maka dari itu kita butuh payung hukum. Kedua, lulusan pesantren harus diakui oleh negara. ini sebagai kabar gembira buat para santri. Sebagai motivasi santri agar punya semangat berdakwah, semnagat membangun dan mengembangkan negara. karena lulusan santri setara denagn lulusan lembaga pendidikan formal. Ketiga, karena para kyai telah memberikan darma baktinya pada negara maka negara harus menupang pesanten dengan APBD dan APBN. Sudah yaaa, sudah jelas?
Apa PR besar dari UU pesantren ini pak?
UU ini baru disahkan di pusat, masih banyak yang harus dikawal oleh DPR  daerah, termasuk siapkan payung hukum turunan dari UU ini, perpu misalnya seperti yang saya jelaskan tadi. Yang kedua, pesanren harus juga mempersiapkan diri, oleh karena itu saya berusaha keliling indonesia untuk mensosialisasikan ini. udah ya,,saya rasa sudah jelas. soalnya saya buru- buru harus pergi memenuhi  undangan diskusi politik mengenai UU pesantren.









Kulonprogo- Keterbatasan mendapatkan sumber air  dialami Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kulonprogo yang setiap hari melaksanakan droping bantuan air bersih kepada warga di wilayah kekeringan. Sejak penetapan status tanggap darurat bencana kekeringan di Kulonprogo, sumber pengambilan air mengandalkan dari sumur di PMI Cabang Kulonprogo, Instalasi Pengolahan Air (IPA) Waduk Sermo dan IPA Klangon, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang.

“Sumber air di musim kemarau yang dapat diambil airnya juga terbatas. Terutama untuk pengambilan air terdekat dengan lokasi droping bantuan air bersih di wilayah kekeringan,” ujar Ariadi, Kepala Pelaksana BPBD Kulonprogo.

BPBD Kulonprogo mengkoordinasikan dengan Dinas Sosial (Dinsos) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan PMI Cabang Kulonprogo untuk pendistribusian bantuan air bersih. Menurutnya, terdapat sekitar 30 desa tersebar di tujuh wilayah kecamatan dilanda kekeringan. Warga kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan rumah tangga karena sebagian besar sumber air mengering.

Direktur Utama PDAM Kulonprogo, Djumantoro dihubungi terpisah menjelaskan PDAM menyediakan lokasi empat IPApengambilan air untuk pelayanan droping bantuan air bersih. Selain di Waduk Sermo dan Klangon, dapat pengambilan air di IPA Banguncipto, Sentolo dan IPA Sapon, Kecamatan Lendah.


Kamis, 21 November 2019




Oleh: Abd. Gafur

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tik tok tik tok. Begitulah bunyi jam yang terus menggema dalam gendang telinga. Lampu neon kuning yang bergelantung cahayanya sedikit menerangi lembar buku sidu bersampul micky mouse. Angin malam semilir syahdu masuk lewat pintu yang setengah terbuka. Ibu dan ayah mungkin sudah tertidur nyenyak dikamar. Hmmm, siapa gerangan yang tidak akan terayu dengan udara dingin yang lembut seperti itu.
Jika ditanya siapa yang kuat, mungkin jawaban sementara adalah aku dan Sofie. Ya, kami masih belum tidur gara-gara tugas Bu Indah yang harus dikumpulkan di pagi buta. Lima bungkus taro rasa sapi dan dua gelas teh buatan ibu ternyata tak cukup untuk menemani belajar kami. Aku mencolek Sofie sembari melirik jam dinding.
“ Weeh kok wis bengi iki, aku wedi mule saiki ee. Neng partelon jalan ngarep omahmu iku ono wong mati.”
“ Astaghfirullah aku lali. Ya wes koe turu neng kene wae. Sesok isuk koe mulih.”

Andaikan Sofie tidak berkata seperti itu, tentunya aku akan lupa sama pak dhe ku sendiri. Pak dhe ku meninggal dunia tiga hari yang lalu. Dia meninggal karena jatuh dari pohon kelapa, kakinya patah dan tulang lehernya keluar. Seketika itu pun buk dhe langsung berteriak histeris, muntah-muntah dan pingsan. Bapak langsung menarik tanganku tuk pulang ke rumah, sembari berkata “ Koe neng kene wae, ra apik kanggo cah cilik”. Sejak itulah aku memilih berdiam di rumah dan tidak pernah ikut tahlilan atau pun membantu ibuk-ibuk masak di dapur.
Bocah sepertiku ini sebenarnya tidak sopan untuk bertanya apa dan kenapa dan tak berhak pula untuk melawan perintah orang tua. Namun yang aku tahu bahwa desaku ini sangat kental dengan kepercayaan yang di bawa oleh buyut-buyut terdahulu. Mulai dari bermacam ritual keagamaan seperti sunnatan, pernikahan, memandikan perempuan hamil dengan kembang, pemasangan pagar gaib di setiap malam jum’at dan masih banyak lagi. Sampai-sampai di sekolah aku sering diolok-olok sebagai anak dukun, karena setiap kali aku berangkat sekolah ibu tidak lupa mengngalungkang jimat berwana hitam dileherku. Meski aku tidak tahu apa sebenarnya isi gumpalan kain hitam itu.

Sekolahku berada di desanya Sofie, jadi wajar mereka tidak begitu mengenal tradisi yang ada di desaku. Tapi, sebenarnya diantara banyaknya desa di kota Mingsuh ini hanya desaku saja yang masih menganut keyakinan itu. Desa yang lain sudah tidak mengakui cara-cara lawas atau bisa dikatakan cara aneh yang tidak masuk akal.
Malam semakin dingin, suara mengkeret pohon bambu saling bersautan di depan rumah. Bunyi lonceng sapi berkringcing petanda jerami dan rumput sudah habis di kandang. Kelambu merah jendela tertiup angin dan samar-samar cahaya bulan purnama membias masuk. Aku dan Sofie masih duduk bersilah di ruang tamu, tidak tahu entah sampai kapan tugas ini selesai.
“ Nis, aku mumet ee. Mandek sek yoo. Saiki enae cerita wae.” “ Haa? Cerita opo.”
“ Hehe sak kareppmu. Eh anu wae cerita horror pie” “ Tenan ora. Koe ra wedi po?
“ Tenan. Nek cerito aku wani, tapi nek tenanan weruh aku ra wani. Hahahahah “

“ Ya wes, aku duwe cerito. Krungu-krungu nek ono wong mati seng wujude ora genep mengko diprimpeni lho.”
“ Emange ning kene wes tau kedadhean?

“ Mbuh. wingi pakdhe ku mati goro-goro tibo seko wit kambil. “ Haa? Kapan?
“ Telu dino wingi. Omahe sing pertelon iku.”

“ Berarti pakdhe mu bakale mrimpeni awake dewe no”

Sial, sepertinya aku tidak akan selamat setelah ini. Aku telah melanggar pantangan itu. Di desaku ini ada sebuah pantangan tidak boleh menceritakan orang yang sudah meninggal. Jika hal itu dilakukan cerita itu harus tuntas selama masa hidupnya dan harus berkata jujur. Aku bingung ingin menceritakan apa ke Sofie tentang pakdhe. Setahuku pakdhe salah satu orang yang paling ditakuti karena kegalakannya, bisa dikata dia raja preman di desa ini.

“ Nis ngopo koe meneng wae. Sido ra ceritane” “ Ahh ngapurane, wes tekan ngendi mau ”
“ Hmm, mrimpeni sing ke piye? “ Yo biasane ganggoni wongsih”
“ Lah iki kan wes tellu dino, berarti pakdhe mu….. DARRR!!!!
Pintu rumah tiba-tiba tertutup dengan keras, padahal diluar tidak hujan dan tidak ada angin kencang. Ya aku mulai merasakan kehadirannya, sepertinya ini ulah pakdhe ku. Sofie terlihat ketakutan dan cemas, dia melompat dan memeluk erat tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa, tak mungkin aku bangunkan ibu dan bapak yang sudah tertidur pulas disana.
“ Wis Nis rasah cerito meneh, aku wedi. Aku ra gelem ketemu Pakdhe mu.” “ Tapi…”
“ Wes rausah neko-neko. Sumpah aku wedi.”

“ Tapi awak dewe kan wes nglanggar pantangan Sof. Awak dewe wes ceritakke wong sing wis mati, gak ono dalan lio sak liane iki yo awak dewe kudhu ceritakke tekkan rampung.”
“ Cerito tentang Pakdhe mu?

Aku mengangguk, Sofie menggigit bibir sepertinya ia menyesal telah memintaku untuk bercerita malam ini. Sebenarnya aku juga tidak tega melihat wajahnya pucat basi seperti itu, tapi apalah daya pantangan itu harus kami tebus.
Sejenak kami terdiam, suara jangkrik mendadak menjadi lagu ketakutan. Suara momon mengeong-ngeong, satu sampai tiga kali suara mengkerek terdengar dalam dapur.
“ Koe rep neng ndi Nis?

“ Aku arep delok pawon, koyoe momon arep nyolong iwak. Koe ngenteni neng kene sek.”

Aku meninggalkan sofie dan berjalan menuju dapur, ternyata benar dugaanku. Satu ikan bandeng utuh sudah berada dalam mulut momon. Melihat aku datang, momon kaget dan langsung pergi. Kaki belakangnya tak sengaja menyenggol piring yang berisi tulang ikan dan- pecah. Suara pecahan piring itu lumayan nyaring, tapi aku tidak mendengar suara Sofie sekedar bertanya “Ada apa dan Kenapa Nis”. Disitu aku mulai khawatir, pecahan piring sengaja tidak dibersihkan dan aku beranjak cepat pergi menemui Sofie di ruang tamu.
Sesampai aku disana, Sofie sudah tidak ada. Pintu rumah sudah terbuka menganga, apa mungkin dia sudah pulang. Ahhh tidak mungkin, Sofie tidak akan berani melakukan itu. Perlahan aku berjalan menuju pintu, benar dugaanku Sofie tidak mungkin berani pulang sendirian.
“ Sof, ngopo koe lingguh neng isor wit perring. Reneo cepet mlebu.”

Kesal sekali, suaraku tidak didengarkannya. Dia malah asyik duduk membelakangiku sembari mengukir-ngukir tanah. Kepalanya tertunduk dalam. Sontak aku kaget, dia tertawa sendiri dan tiba-tiba lari ke dalam rimbunan pohon bambu. Aku teriak memanggil dan mencoba menghentikannya, tapi sayang kabut malam terlalu tebal dan membuatku susah melihat keberadaannya. Aku berhenti mengejarnya, ibu dulu pernah berkata kalau di rimbunan pohon bambu itu banyak sekali ular dan hewan berbisa.
Aku panik, sepertinya aku harus bangunkan bapak dan ibu. Tapi sial, sekali lagi aku kembali dikagetkan dengan apa yang berada di depan mataku. Sebuah tulisan yang tergeletak kaku di atas tanah. Tulisan itu tertuju padaku.
OJO NGOMONKE AKU KARO WONG SING ORA AKU KENAL


Rabu, 20 November 2019






Oleh: ROY M

Jika pulau seberang adalah alasan untuk kamu berjuang, jangan gemuruh walau sampanmu mulai goyah"
Kata Kiai pada santrinya yang sedang mengaji

Lalu, suara itu terekam dalam setiap lembar kuning alfiyah, imrithi dan tashrif
Aku mengejanya dalam keheningan mimpi yang tak berkesudahan 
Disana aku menemukan semesta, nyaris seperti purnama

"Jika pulau telah aku tapaki, tak perlu suara sebagai hadiah
Biarlah doa menjadi ucapan terimakasihnya"

Sampai disini, aku sudah lihai menuliskan kata yang belum sempat terlihat. 


*Anggota Santre Pangarangan Yogyakarta, Puisi ini diambil dari Antologi bersama 100 Penyair Santri Indonesia bukunya berjudul "Suluk Santri". Puisinya kebetulan ikut menyumbangkan khazanah sastra Santri Indonesia. 


Comments

Cari Blog Ini

Most Popular

Popular Posts