Kamis, 21 November 2019




Oleh: Abd. Gafur

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tik tok tik tok. Begitulah bunyi jam yang terus menggema dalam gendang telinga. Lampu neon kuning yang bergelantung cahayanya sedikit menerangi lembar buku sidu bersampul micky mouse. Angin malam semilir syahdu masuk lewat pintu yang setengah terbuka. Ibu dan ayah mungkin sudah tertidur nyenyak dikamar. Hmmm, siapa gerangan yang tidak akan terayu dengan udara dingin yang lembut seperti itu.
Jika ditanya siapa yang kuat, mungkin jawaban sementara adalah aku dan Sofie. Ya, kami masih belum tidur gara-gara tugas Bu Indah yang harus dikumpulkan di pagi buta. Lima bungkus taro rasa sapi dan dua gelas teh buatan ibu ternyata tak cukup untuk menemani belajar kami. Aku mencolek Sofie sembari melirik jam dinding.
“ Weeh kok wis bengi iki, aku wedi mule saiki ee. Neng partelon jalan ngarep omahmu iku ono wong mati.”
“ Astaghfirullah aku lali. Ya wes koe turu neng kene wae. Sesok isuk koe mulih.”

Andaikan Sofie tidak berkata seperti itu, tentunya aku akan lupa sama pak dhe ku sendiri. Pak dhe ku meninggal dunia tiga hari yang lalu. Dia meninggal karena jatuh dari pohon kelapa, kakinya patah dan tulang lehernya keluar. Seketika itu pun buk dhe langsung berteriak histeris, muntah-muntah dan pingsan. Bapak langsung menarik tanganku tuk pulang ke rumah, sembari berkata “ Koe neng kene wae, ra apik kanggo cah cilik”. Sejak itulah aku memilih berdiam di rumah dan tidak pernah ikut tahlilan atau pun membantu ibuk-ibuk masak di dapur.
Bocah sepertiku ini sebenarnya tidak sopan untuk bertanya apa dan kenapa dan tak berhak pula untuk melawan perintah orang tua. Namun yang aku tahu bahwa desaku ini sangat kental dengan kepercayaan yang di bawa oleh buyut-buyut terdahulu. Mulai dari bermacam ritual keagamaan seperti sunnatan, pernikahan, memandikan perempuan hamil dengan kembang, pemasangan pagar gaib di setiap malam jum’at dan masih banyak lagi. Sampai-sampai di sekolah aku sering diolok-olok sebagai anak dukun, karena setiap kali aku berangkat sekolah ibu tidak lupa mengngalungkang jimat berwana hitam dileherku. Meski aku tidak tahu apa sebenarnya isi gumpalan kain hitam itu.

Sekolahku berada di desanya Sofie, jadi wajar mereka tidak begitu mengenal tradisi yang ada di desaku. Tapi, sebenarnya diantara banyaknya desa di kota Mingsuh ini hanya desaku saja yang masih menganut keyakinan itu. Desa yang lain sudah tidak mengakui cara-cara lawas atau bisa dikatakan cara aneh yang tidak masuk akal.
Malam semakin dingin, suara mengkeret pohon bambu saling bersautan di depan rumah. Bunyi lonceng sapi berkringcing petanda jerami dan rumput sudah habis di kandang. Kelambu merah jendela tertiup angin dan samar-samar cahaya bulan purnama membias masuk. Aku dan Sofie masih duduk bersilah di ruang tamu, tidak tahu entah sampai kapan tugas ini selesai.
“ Nis, aku mumet ee. Mandek sek yoo. Saiki enae cerita wae.” “ Haa? Cerita opo.”
“ Hehe sak kareppmu. Eh anu wae cerita horror pie” “ Tenan ora. Koe ra wedi po?
“ Tenan. Nek cerito aku wani, tapi nek tenanan weruh aku ra wani. Hahahahah “

“ Ya wes, aku duwe cerito. Krungu-krungu nek ono wong mati seng wujude ora genep mengko diprimpeni lho.”
“ Emange ning kene wes tau kedadhean?

“ Mbuh. wingi pakdhe ku mati goro-goro tibo seko wit kambil. “ Haa? Kapan?
“ Telu dino wingi. Omahe sing pertelon iku.”

“ Berarti pakdhe mu bakale mrimpeni awake dewe no”

Sial, sepertinya aku tidak akan selamat setelah ini. Aku telah melanggar pantangan itu. Di desaku ini ada sebuah pantangan tidak boleh menceritakan orang yang sudah meninggal. Jika hal itu dilakukan cerita itu harus tuntas selama masa hidupnya dan harus berkata jujur. Aku bingung ingin menceritakan apa ke Sofie tentang pakdhe. Setahuku pakdhe salah satu orang yang paling ditakuti karena kegalakannya, bisa dikata dia raja preman di desa ini.

“ Nis ngopo koe meneng wae. Sido ra ceritane” “ Ahh ngapurane, wes tekan ngendi mau ”
“ Hmm, mrimpeni sing ke piye? “ Yo biasane ganggoni wongsih”
“ Lah iki kan wes tellu dino, berarti pakdhe mu….. DARRR!!!!
Pintu rumah tiba-tiba tertutup dengan keras, padahal diluar tidak hujan dan tidak ada angin kencang. Ya aku mulai merasakan kehadirannya, sepertinya ini ulah pakdhe ku. Sofie terlihat ketakutan dan cemas, dia melompat dan memeluk erat tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa, tak mungkin aku bangunkan ibu dan bapak yang sudah tertidur pulas disana.
“ Wis Nis rasah cerito meneh, aku wedi. Aku ra gelem ketemu Pakdhe mu.” “ Tapi…”
“ Wes rausah neko-neko. Sumpah aku wedi.”

“ Tapi awak dewe kan wes nglanggar pantangan Sof. Awak dewe wes ceritakke wong sing wis mati, gak ono dalan lio sak liane iki yo awak dewe kudhu ceritakke tekkan rampung.”
“ Cerito tentang Pakdhe mu?

Aku mengangguk, Sofie menggigit bibir sepertinya ia menyesal telah memintaku untuk bercerita malam ini. Sebenarnya aku juga tidak tega melihat wajahnya pucat basi seperti itu, tapi apalah daya pantangan itu harus kami tebus.
Sejenak kami terdiam, suara jangkrik mendadak menjadi lagu ketakutan. Suara momon mengeong-ngeong, satu sampai tiga kali suara mengkerek terdengar dalam dapur.
“ Koe rep neng ndi Nis?

“ Aku arep delok pawon, koyoe momon arep nyolong iwak. Koe ngenteni neng kene sek.”

Aku meninggalkan sofie dan berjalan menuju dapur, ternyata benar dugaanku. Satu ikan bandeng utuh sudah berada dalam mulut momon. Melihat aku datang, momon kaget dan langsung pergi. Kaki belakangnya tak sengaja menyenggol piring yang berisi tulang ikan dan- pecah. Suara pecahan piring itu lumayan nyaring, tapi aku tidak mendengar suara Sofie sekedar bertanya “Ada apa dan Kenapa Nis”. Disitu aku mulai khawatir, pecahan piring sengaja tidak dibersihkan dan aku beranjak cepat pergi menemui Sofie di ruang tamu.
Sesampai aku disana, Sofie sudah tidak ada. Pintu rumah sudah terbuka menganga, apa mungkin dia sudah pulang. Ahhh tidak mungkin, Sofie tidak akan berani melakukan itu. Perlahan aku berjalan menuju pintu, benar dugaanku Sofie tidak mungkin berani pulang sendirian.
“ Sof, ngopo koe lingguh neng isor wit perring. Reneo cepet mlebu.”

Kesal sekali, suaraku tidak didengarkannya. Dia malah asyik duduk membelakangiku sembari mengukir-ngukir tanah. Kepalanya tertunduk dalam. Sontak aku kaget, dia tertawa sendiri dan tiba-tiba lari ke dalam rimbunan pohon bambu. Aku teriak memanggil dan mencoba menghentikannya, tapi sayang kabut malam terlalu tebal dan membuatku susah melihat keberadaannya. Aku berhenti mengejarnya, ibu dulu pernah berkata kalau di rimbunan pohon bambu itu banyak sekali ular dan hewan berbisa.
Aku panik, sepertinya aku harus bangunkan bapak dan ibu. Tapi sial, sekali lagi aku kembali dikagetkan dengan apa yang berada di depan mataku. Sebuah tulisan yang tergeletak kaku di atas tanah. Tulisan itu tertuju padaku.
OJO NGOMONKE AKU KARO WONG SING ORA AKU KENAL


0 komentar:

Posting Komentar

Comments

Cari Blog Ini

Most Popular

Popular Posts